Monday 1 May 2023

3 Pendekatan Dalam Memahami Konsep E-Government

Istilah e-government sering kali kita dengar pada diskusi
publik atau di media massa terlebih lagi di forum-forum
akademik. Agaknya tidak ada yang belum pernah mendengar
istilah itu. Meski demikian, familiaritas masyarakat terhadap
istilah itu belum tentu selaras dengan pemahaman mereka
terhadap konsep e-government. Hal ini wajar adanya, bukan
hanya masyarakat awam, di kalangan akademisi pun ada
ketidak seragaman pengertian dan pemahaman terkait konsep
e-government.


Beragam pendekatan dari disiplin ilmu yang berbeda
membuat studi mengenai e-government menjadi semakin kaya
dan dinamis. Masing-masing disiplin ilmu memiliki titik tekan
mereka sendiri serta fokus pada aspek-aspek tertentu. Bahkan
tidak jarang beragam disiplin ilmu tersebut bertautan satu
sama lain sehingga menghasilkan konsep-konsep turunan dari
studi e-government secara umum. Konsep-konsep tersebut
antara lain misalnya, open government, penggunaan social
media, Web 2.0, smart cities, smart communities, digital
divide, digital gap, digital literacy, cyber security, privacy, dan
berbagai konsep lainnya yang terkait. Meski di satu sisi
pertautan berbagai disiplin ilmu ini menambah khazanah dan
kekayaan studi e-government, di sisi yang lain ia juga  membawa permasalahan terutama tantangan besar bagi para akademisi e-government untuk mendefinisikan konsep serta
topik utama dari e-government.

Jika dilihat secara berurutan, sepertinya terdapat suatu
pola yang bersifat evolusioner. Artinya definisi dan
pemahaman akademisi terkait fenomena penggunaan ICT
dalam pemerintahan ini dimulai dengan fokusnya pada
manajemen informasi, kemudian seiring dengan
perkembangan teknologi internet maka istilah baru bermunculan seperti “e-commerce”, “e-Business” dan
akhirnya “e-government”. Meskipun berguna, namun cara
pandang evolusioner ini dianggap belum memiliki bukti yang
cukup kuat untuk dipercaya, karena langkah-langkah yang
berurutan sebagaimana yang logis terjadi dalam proses evolusi
ternyata tidak selamanya terjadi. Tahapan-tahapan dalam
asumsi jenjang evolusi (dari manajemen informasi, e-government, sampai pada e-governance) masih tumpang
tindih satu sama lain dan tidak menujukan pola evolusi sama
sekali.

Lantas bagaimana kita bisa mempelajari e-government
apabila kompleksitas yang terkandung dalam konsep tersebut
dikatakan mustahil untuk sepenuhnya diketahui? Untuk
membantu kebuntuan ini, Gil-Garcia menyebutkan bahwa kita
bisa memahami esensi dari e-government melalui tiga
pendekatan. Pertama, kita bisa menggunakan pendekatan
evolusioner, yang kedua kita bisa mendekatinya dengan
merujuk pada karakteristik utama yang harus ada dalam
sesuatu yang disebut e-government. yang terakhir adalah
dengan melihat aplikasi atau penggunaan e-government pada
stakeholder yang berbeda (Gil-Garcia, 2012)

Pendekatan dalam Memahami Konsep E-Government

1. Pendekatan Evolusi E-Government (The Stage of E-Government)

Pendekatan pertama dalam memahami konsep e-government adalah melalui suatu instrumen yang
menggambarkan step-by-step atau tahapan-tahapan yang
bersifat evolusioner. Artinya instrumen ini akan
memberitahukan sudah pada tahapan mana penggunaan ICT
dalam proses pemerintahan. Pendekatan ini merupakan
pendekatan yang cukup populer dalam khazanah literatur studi
e-government di mana banyak tulisan yang kemudian mencoba
untuk menentukan sudah pada tahapan mana penggunaan ICT
oleh pemerintah telah berjalan. Instrument ini juga tidak jarang
dipergunakan sebagai basis evaluasi dari implementasi e-government. Asumsi dari pendekatan evolusioner ini adalah
bahwa tahapan e-government melewati garis linier yang
progresif dari tahap awal yang paling sederhana menuju tahap
akhir yang paling kompleks dan proses evolusi dari program
e-government akan melewati tahapan tersebut satu per satu.

Instrumen untuk mendeskripsikan evolusi e-government biasa disebut “stages”, “tahapan”, “tingkatan” dan
istilah-istilah serupa. Serangkaian “stages” ini dikumpulkan
dalam suatu kerangka model yang disusun oleh para
akademisi. Banyak sekali model evolusi e-government yang bisa kita temukan dalam literatur, beberapa yang populer dan
banyak digunakan misalnya model evolusi e-government yang
disusun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations)
yang berisi empat tahap: 1) emerging; 2) enhanced; 3)
transactional; dan 4) connected, dan model Layne & Lee yang
memuat: 1) catalogue; 2) transaction; 3) vertical integration
dan 4) horizontal integration. (Layne & Lee, 2001; United
Nations, 2008a).

Meski demikian, pendekatan evolusioner ini tidak lantas
lepas dari kritik. Kritikan pertama diarahkan pada asumsi
progres linier dari tiap tahapan, asumsi yang menyatakan
bahwa suatu program elektronik government akan berevolusi
sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah dirumuskan
ternyata tidak selalu terjadi. Bahkan tidak ada bukti kuat
bahwa ke” ajeg”an tahapan itu benar-benar dilewati secara
tertib dan berurutan. Yang ada justru studi yang menunjukkan
bahwa pola implementasi e-government yang dilakukan
pemerintah bisa mengambil jalur yang berbeda dan terlihat
acak. Satu program e-government tidak perlu dimulai langsung
pada tahap awal (emerging) misalnya dan langsung dimulai
pada tahapan dua (enhanced) atau tiga (transactional). Begitu
pula dengan pola progres program e-government. Tidak selalu
program e-government itu harus melalui tahapan di atasnya
terlebih dahulu. Ada kasus-kasus yang menunjukkan bahwa
tahapan tersebut dilewati dan program itu “lompat” ke tahapan
yang jauh lebih tinggi. Misalnya ada program baru yang  mungkin masih termasuk dalam kategori “emerging”, setelah
sekian lama ia berkembang namun tidak lagi “naik” ke tahapan
“enhanced” (satu tahapan di atasnya), namun langsung masuk
pada kategori “transactional” (dua tahapan di atasnya).

Kritik ke dua adalah tentang titik fokus pendekatan
evolusioner ini terhadap website dan penggunaan internet.
Menurut para pengkritik, e-government merupakan suatu
konsep luas dan tidak bisa hanya dibatasi pada penggunaan
internet dan website saja. Perkembangan serta penerapan
teknologi informasi diasumsikan sebagai faktor utama dari
progres e-government. Kritik diarahkan pada asumsi ini yang
mengabaikan faktor organisasi, institusi dan administrasi.
Pada intinya terdapat pengabaian terhadap faktor-faktor sosial
dari progres e-government sesuai dengan pendekatan
evolusioner.

Meski demikian, terlepas dari kritikan yang diterima,
model evolusioner ini masih menjadi instrument yang sangat
berguna untuk membantu kita mendeteksi dan
mendeskripsikan “tahapan” atau “tingkat kedewasaan” dari
program e-government. Terutama ketika kita bisa
menggabungkan pendekatan ini dengan pendekatan lain yang
memiliki fokus yang bisa menutupi kelemahan dari
pendekatan evolusioner


2. Pendekatan Definisional (The Elements of E-Government)

Pendekatan kedua adalah pendekatan definisional.
Fokusnya adalah menemukan elemen esensial dari konsep e government dan mendefinisikan konsep tersebut sesuai dengan
elemen yang diidentifikasi. Melalui pendekatan ini, maka ada
beragam definisi e-government yang memiliki makna yang
beragam pula sesuai dengan keragaman elemen yang dipilih
oleh para ahli yang merumuskan definisikannya. Menurut Gil Garcia & Luna-Reyes (2006) dalam Gil-Garcia (2012)
Sebagian besar dari definisi e-government yang ada saat ini
mengandung setidaknya empat elemen atau karakteristik
utama: 1) penggunaan ICT (jaringan komputer, internet,
telepon, dan mesin fax); 2) dibuat untuk mendukung kerja
pemerintahan (menyediakan dan pengelolaan informasi,
perbaikan pelayanan, efisiensi administrasi dan lain-lain); 3)
memperbaiki relasi pemerintah dan publik (melalui pembuatan
kanal-kanal komunikasi baru berbasis ICT dan meningkatkan
partisipasi publik dalam jalannya pemerintahan); 4) adanya
strategi untuk menciptakan nilai tambah bagi stakeholder yang
terlibat dalam program e-government (masyarakat,
privat/mitra bisnis, staf pegawai dan lainnya).

Terlepas dari empat karakteristik utama yang terdapat
pada sebagian besar definisi e-government, para akademisi
masih menekankan elemen penting yang berbeda pada tiap
definisi yang mereka gunakan. Grönlund & Horan misalnya  menekankan pada pelayanan publik, perubahan organisasi dan
peran pemerintah (Grönlund & Horan, 2005). Lain halnya
dengan Zweers & Planqué (2001) yang fokus pada penyediaan
informasi, pelayanan dan produk kebijakan berbasis ICT yang
bisa diperoleh kapan dan di mana saja melalui berbagai agen
pemerintah yang menciptakan nilai tambah bagi pihak yang
telibat dalam proses tersebut (related to the provision of
information, services, or products through electronic means
that can be obtained at any time and place through different
government agencies, offering added value for all the
participants in the transaction) (Zweers & Planqué, 2001).
Akademisi lain mendefinisikan e-government secara
sederhana yang hanya melihat aspek penyediaan layanan
pemerintah serta informasi publik melalui penggunaan ICT
selama 24 jam / (Holden, Norris, & Fletcher, 2003). Definisi
lain menjangkau penekanan pada “kebebasan pergerakan
informasi yang mengatasi hambatan fisik” sampai pada
“penggunaan teknologi untuk meningkatkan akses kepada dan
terhadap layanan pemerintah demi kepentingan publik, bisnis
dan pegawai pemerintah”.

Gil-Garcia dan Luna-Reyes (2003, 2006) mendefinisikan e-government
tidak sekedar penerapan ICT dalam proses pemerintahan,
namun juga tentang penciptaan kondisi untuk keberhasilan
proyek e-government itu sendiri. Pada bagian yang lain, definisi dari beberapa organisasi
internasional lebih menekankan pada tujuan e-government
untuk menciptakan pemerintahan yang baik. Seperti definisi
yang dibuat oleh the Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD).

Pendekatan definisional ini tentu sangat berguna ketika
kita ingin mengetahui elemen dasar atau karakteristik utama
yang ada pada konsep e-government. Namun, tantangan dari
pendekatan ini adalah definisi yang beragam yang
menekankan pada elemen yang beragam pula sehingga
menimbulkan kesulitan dalam men sortir dan menyeleksi
elemen mana yang merupakan elemen utama sebagai pembeda
dari konsep lain. 

Beragamnya elemen yang muncul dari penekanan fokus
yang berbeda dari definisi e-government ini sebenarnya bisa
dilihat dari dua sisi yang berbeda. Jika sebelumnya kita
melihat tantangan yang muncul akibat kebingungan untuk
menentukan elemen utama, di sisi lain kita bisa melihat bahwa
beragamnya elemen ini merupakan potensi untuk menambah  wawasan dalam kajian e-government yang justru akan
menambah pemahaman kita terkait fenomena ini.


3. Pendekatan Berbasis Stakeholder (The Relationships
Between Government and Other Entities)

Pendekatan terakhir, adalah pendekatan berbasis
stakeholder yang menekankan pada kategorisasi terhadap tipe
relasi antara pemerintah dan entitas lainnya. Pendekatan ini
fokus pada penggunaan internet sebagai instrument untuk
meningkatkan dan mendukung relasi pemerintah dengan
stakeholder lain. Hal ini termanifestasikan dengan konsep
yang kita kenal sebagai: Government to Citizens (G2C)  relasi
antara pemerintah dan masyarakat, Government to Business
(G2B)  relasi antara pemerintah dan kalangan bisnis, dan
Government to Government (G2G)  relasi antar pemerintah.

1) Government to Citizens (G2C)

Kategori pertama, Government to Citizens (G2C),
merupakan implementasi e-government untuk memperbaiki
kualitas pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah.
Dengan penggunaan internet dalam penyediaan layanan publik
maka pemerintah diyakini mampu untuk menyediakan layanan
dengan lebih baik contoh dari relasi G2C ini misalnya:
penggunaan website resmi pemerintah sebagai sarana
diseminasi informasi publik, penyediaan layanan berbasis
online dan penyediaan kanal interaksi antara masyarakat dan
pemerintah melalui jaringan internet.

2) Government to Business (G2B)

Kedua, Government to Business (G2B). Penggunaan
ICT dalam menunjang kinerja organisasi memang tidak
didominasi oleh pemerintah saja namun justru sebaliknya,
berbagai inovasi dan terobosan yang bertujuan untuk
memaksimalkan keuntungan dengan pengelolaan organisasi
yang efektif dan efisien banyak datang dari sektor bisnis.
Kajian dalam Administrasi Publik bahkan mendorong
pemerintah untuk melakukan inovasi dan tata kelola organisasi
sebagaimana yang dilakukan oleh sektor bisnis, hal ini bisa
terlihat pada paradigma New Public Management (NPM)
misalnya. Untuk konteks relasi antara pemerintah dan
kalangan bisnis sendiri, e-government meningkatkan
koordinasi dan kerjasama antar kedua pihak terutama pada
pelayanan terhadap sektor bisnis atau transaksi antar
keduanya, misalnya pada proses pembelian barang dan jasa
oleh pemerintah dari sektor bisnis.

3) Government to Government (G2G)

Selanjutnya adalah Government to Government (G2G).
E-government diyakini mampu mendukung koordinasi antar
pemerintah yang membutuhkan kejelasan terkait hal-hal yang
teknis dan mendetail, misalnya tugas pokok, wewenang,
aturan dasar, yuridiksi dan lain sebagainya. Koordinasi antar
pemerintah (baik antar negara atau antar tingkatan pemerintah
dalam suatu negara) merupakan mekanisme yang kompleks
karena melibatkan tidak hanya personel secara indvidu namun
juga organisasi misalnya kementerian, dinas, sampai pada
kantor desa. Relasi G2G bisa terlihat misalnya melalui jalur koordinasi berbasis internet antara organisasi pusat dan daerah
dalam memberikan pelayanan.

Ketiga kategori relasi pemerintah di atas merupakan
kategori yang populer dan sudah banyak diketahui, namun
seiring dengan perkembangan sosial-politik, ketiga kategori
itu saja tidak dianggap mencukupi dalam merepresentasikan
hubungan antara pemerintah dan stakeholder lainnya. Oleh
sebab itu, Hiller dan Belanger (2001) menambahkan tiga
kategori lagi dengan harapan mampu untuk mencerminkan
relasi pemerintah dan stakeholder lain yang terabaikan pada
kategori sebelumnya. Tiga kategori tambahan itu adalah: 1)
Government to Individuals as Part of the Political Process
(G2IP); 2) Government to Companies in the Market
(G2BMKT); dan 3) Government to Employees (G2E).

#1 Government to Individuals as Part of the Political Process (G2IP)

Government to Individuals as Part of the Political
Process (G2IP) merupakan kategori yang mendeskripsikan
perkembangan proses demokrasi yang sudah dan sedang
menuju apa yang disebut sebagai “electronic democracy”.
Pada kategori ini, yang dilihat adalah partisipasi masyarakat
dalam proses politik dan pembuatan kebijakan publik misalnya
pada mekanisme voting yang berbasis elektronik atau
mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat yang disampaikan
melalui kanal-kanal elektronik, Hiller dan Belanger percaya
bahwa kategori ini harus berdiri sendiri dan terpisah dengan
kategori G2C yang sama-sama mencerminkan relasi antara
pemerintah dan masyarakat, namun pada G2C yang menjadi  fokus adalah pelayanan publik, baik bagi pemerintah sebagai
penyedia dan bagi masyarakat sebagai penerima layanan
publik. Sedangkan pada kategori G2IP, relasi yang ditekankan
adalah relasi politik.

#2 Government to Companies in the Market (G2BMKT)

Government to Companies in the Market (G2BMKT).
Hiller dan Belanger menyadari kesamaan kategori ini dengan
kategori G2B, namun mereka menambahkan bahwa meskipun
sektor bisnis merupakan penerima layanan publik yang
disediakan oleh pemerintah -sama seperti individu-, namun
relasi paling penting dari pemerintah dan sektor bisnis adalah
tentang transaksi pembelian barang dan jasa pemerintah.
Kategori ini lebih fokus pada aspek ini dan mereka meyakini
bahwa penerapan e-government bisa mengurangi biaya yang
tidak perlu dari transaksi konvensional dan yang paling
penting adalah meningkatkan transparansi belanja pemerintah.

#3 Government to Employees (G2E)

Government to Employees (G2E). Mungkin kategori ini
adalah kategori terpenting yang terlewat oleh tiga kategori
sebelumnya. Relasi antara pemerintah dan pegawainya
merupakan hal yang sangat berbeda dengan relasi pemerintah
dan masyarakat atau antar pemerintah sendiri. Penerapan e government dalam kategori ini meliputi penggunaan ICT
untuk meningkatkan efisiensi manajemen organisasi
pemerintah, meningkatkan koordinasi komunikasi antar
pegawai sampai pada manajemen sumberdaya manusia
misalnya sistem aplikasi pelayanan kepegawaian di Indonesia. 

Sebagaimana disampaikan sebelumnya, pendekatan
berbasis stakeholder ini menekankan pada relasi pemerintah
dengan pihak-pihak lain. Penekanan ini merupakan pembeda
utama antara pendekatan berbasis stakeholder dan pendekatan
lainnya. Namun di sisi lain, penekanan terhadap relasi ini juga
menjadi poin yang dikritik oleh sebagian akademisi yang
menganggap bahwa pendekatan berbasis stakeholder terlalu
fokus pada relasi eksternal dari pemerintah saja namun di saat
yang sama mengabaikan pertanyaan penting lain terkait
definisi e-government, misalnya terkait dengan apa elemen
utama e-government? sebagaimana yang menjadi fokus dari
pendekatan definisional. Terlepas dari kritikan yang menjadi
perdebatan akademisi, pendekatan berbasis stakeholder ini
sangat berguna bagi penstudi e-government terutama bagi
pemula untuk mengidentifikasi implementasi e-government
antara pemerintah dan aktor-aktor lain.

0 komentar

Post a Comment